Soulmarks : Chapter 0, Prologue.
421 words. background story introduction.
Setiap orang yang terlahir ke dunia ini, memiliki tanda belahan jiwa di pergelangan tangan kiri mereka berupa kalimat pendek yang akan dilontarkan oleh belahan jiwa mereka suatu hari nanti.
Cara mereka bertemu dengan belahan jiwa mereka pun berbeda pada setiap individunya.
Ada yang mampu mendengar potongan isi kepala sang belahan jiwa di pikiran mereka, dan akan semakin keras terdengar seiring dengan semakin dekatnya waktu mereka akan dipertemukan.
Dan ada juga yang selama hidupnya hanya melihat dunia dalam warna hitam dan putih lalu perlahan warna lain akan muncul seiring dengan sang belahan jiwa yang semakin mendekat untuk mengampiri mereka.
But Sunghoon didn’t.
Tanda itu tidak pernah ada di pergelangan tangan kirinya semenjak hari kelahirannya.
Sunghoon terlahir dengan warna yang sempurna pada penglihatannya, dunianya tidak pernah berada dalam monokrom.
Dan Sunghoon juga tidak bisa mendengar potongan isi kepala belahan jiwanya.
Keadaannya ini bukan tanpa sebab, tentu saja.
Semua yang terjadi kepada Sunghoon bukan hanya sebuah kebetulan dan keanehan semata.
Namun, ia sedang menanggung hukuman alam atas kesalahan fatal yang dilakukan oleh seseorang karena rasa egoisnya.
Hukuman tak terhindarkan atas kesalahan yang dikutuk oleh semesta.
Tidak, semesta tidak jahat dengan menghukmnya.
Semesta memperbolehkan mereka untuk jatuh cinta kepada siapapun yang mereka inginkan.
Pun ketika nyatanya nanti orang yang mereka inginkan bukanlah belahan jiwa mereka yang sesungguhnya, semesta tidak akan membiarkan luka itu menyapa.
Alih-alih luka, mereka akan disapa oleh rasa kasih dan cinta yang luar biasa dari sang takdir.
Semesta tidak jahat.
Namun, semesta punya banyak sekali cara untuk menguji ikatan yang telah dibentuk oleh takdir ini.
Rasa tak pernah puas dan nafsu menjadi salah satunya.
Ikatan yang dimiliki antar belahan jiwa hakikatnya tidak bisa diganggu gugat.
Namun sekali saja ikatan itu dinodai, maka ada konsekuensi seumur hidup yang harus diterima disana.
Serta ada pula yang harus menjadi korban.
Dan Sunghoon termasuk ke dalam segelintirnya.
Awalnya, semua terasa membingungkan untuk Sunghoon.
Ia sampai harus berpura-pura memiliki tanda itu di pergelangan tangan kirinya dan berlagak seolah dunianya berwarna hitam dan putih.
Karena menjadi yang berbeda dan hidup dalam ketidakpastian serta tanda tanya besar, ternyata sesulit itu.
Sibuk berandai-andai tentang kapan ia akan terbebas dari jerat hukuman ini atau malah selamanya ia harus hidup seperti ini, ternyata melelahkan itu.
Tapi lama-kelamaan, yang membingungkan malah menjadi terasa memuakkan.
Dan pada akhirnya, sunghoon memilih untuk berhenti memusingkan semuanya.
Kalau seluruh teman-temannya merasa tidak sabar untuk dipertemukan dengan belahan jiwa mereka yang sesungguhnya, maka Sunghoon rasa, ia hanya akan terus membiarkan dirinya jatuh cinta pada seseorang saja dan melihat orang tersebut pada akhirnya pergi karena dirinya bukanlah tempat mereka seharusnya berikrar.
—december 6th, cece.